Selasa, 04 Oktober 2011

seorang guru cacat fisik

TIDAK ada lowongan bagi orang cacat untuk menjadi guru. Setidaknya, begitulah salah satu syarat penerimaan calon guru yang diumumkan Kanwil P dan K Jawa Timur. Penerimaan pegawai ini diumumkan Rabu dua pekan lalu dan ditutup akhir pekan ini. Mereka harus sehat secara fisik dan mental," kata Achmad Ali, Kakanwil P dan K Jawa Timur. Syarat ini harus berdasarkan surat keterangan dokter. Sebab, "Kalau gurunya sumbing, misalnya, 'kan muridnya bisa geger." Fisik ideal seorang guru sudah lama diperbincangkan. Dan belum ada keseragaman pendapat. Apalagi sejak calon mahasiswa IKIP ikut disaring lewat Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru). Karena Sipenmaru tak menolak peserta cacat, maka IKIP pun harus menerima calon guru yang cacat. Memang, mahasiswa IKIP ada yang cacat netra, pincang, atau bungkuk. IKIP Padang mengambil prakarsa hendak mempersoalkan masalah ini ke Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen P dan K. Alasannya, menurut Djamil Bakar, Rektor IKIP Padang itu, seorang guru harus punya sosok tubuh yang ideal. Sementara itu, kini banyak mahasiswa baru di IKIP Padang yang pendek-pendek. Tapi, "masalah ini termasuk sensitif dan dilematis," kata Djamil. Satu sisi menyangkut hak seseorang memperoleh pendidikan dan rasa kemanusiaan, sisi lain menyangkut peningkatan mutu pendidikan. Seorang guru tidak hanya mengajar tapi mendidik. Ia tak sekadar berdiri di depan kelas, tapi juga mesti berpembawaan dengan kondisi tubuh yang memadai. Djamil mengusulkan untuk calon mahasiswa IKIP perlu persyaratan khusus selain lulus Sipenmaru. Sebelum ada Sipenmaru, calon mahasiswa IKIP Padang dikenai tes fisik menyangkut pendengaran, suara, mata, dan tinggi badan. Laki-laki minimal tinggi badan 160 cm dan perempuan minimal 150 cm. Karena itu, sependapat dengan atasannya, Purek I IKIP Padang Mohammad Ansyar menganggap Sipenmaru belum dapat disebut sebagai seleksi masuk perguruan tinggi. Sipenmaru hanya seleksi tertulis. Sistem Sipenmaru sekarang menyebabkan IKIP tidak mendapatkan kebebasan untuk memilih mahasiswa yang layak sesuai dengan tugas yang diembannya. Ansyar mengusulkan ada seleksi fisik. Tes fisik itu ternyata diberlakukan di IKIP Medan, sampai sekarang. Terutama yang menyangkut kelainan yang mengganggu seperti pincang, tuli, bisu, buta, atau adanya kelainan suara. "Ya, 'kan nggak mungkin orang yang 'buta suara' jadi guru. Nanti semua suara guru itu didengar muridnya seperti suara air mancur," kata Usman Pelly, Purek I IKIP Medan. Ketentuan tertulis masalah cacat tubuh ini memang belum ada dari Departemen P dan K. Karena itu, menurut Arma Abdoellah Rektor IKIP Yogya, pihaknya tidak dapat menolak calon mahasiswa cacat yang lolos Sipenmaru. "Kami cuma bisa mengimbau," katanya. Arma sependapat seorang guru SD, SMTP, dan SMTA -- produk yang dihasilkan IKIP -- sebaiknya tidak cacat. Kalau gurunya cacat, bagaimana ia bisa memberikan pelajaran secara meyakinkan pada murid-muridnya. "Saya setuju ada tes khusus di luar Sipenmaru," katanya. Toh, kenyataannya IKIP Yogya sudah pernah menghasilkan tenaga pendidik yang cacat tubuh. Theresia Suryanti Handayani, lulusan program D-III Studi Musik, misalnya, termasuk penyandang cacat polio. Kaki kirinya lebih kecil dari kaki kanan. Maaf, jika berjalan tangan kiri Suryanti terpaksa memegangi kaki kirinya. Jadi, pincang. Tapi Suryanti tidak merasa terganggu baik sewaktu kuliah maupun ketika praktek mengajar. "Saya tidak merasa terhalang dengan kecacatan saya," kata bu guru yang ahli main gitar dan akordeon ini. Ia mengaku akan mengajar di SMA Negeri II Bantul. Demikian pula yang dialami Agus Diono, makasiswa tingkat akhir jurusan bahasa Inggris di FPBS-IKIP Bandung. Ia seorang tunanetra. Setiap ia melakukan praktek mengajar, "para siswa tak pernah mempermainkan saya," katanya. Malah Agus pernah menyebarkan angket pada murid-murid SMA di tempatnya praktek. Hasilnya, 97 persen murid menilai penampilannya positif dan cara mengajarnya terampil. Sebab itu, ia merasa heran bila seorang penyandang cacat tidak diperkenankan menjadi guru. "Ini namanya merugikan sekelompok kecil orang seperti saya," kata Agus. "Itu berarti penyelenggaraan pendidikan sudah menyimpang." Dengan contoh ini perlu dipertanyakan benarkah "kelainan" itu mengganggu kelancaran profesi seorang guru. Yang pasti, IKIP Bandun. IKIP Surabaya dan IKIP Malang tak merasa perlu mempermasalahkannya. Menurut Karna Yudibrata Purek III IKIP Bandung, tidak ada undang-undang yang melarang seseorang untuk menjadi cendekiawan. Jadi, "Kami tidak bisa menolak para tuna yang diterima di IKIP Bandung," katanya. Malah Karna menganggap peserta Sipenmaru yang cacat dan kemudian lulus tergolong unggul karena dengan kekurangannya itu ia mengalahkan yang normal. IKIP Bandung sendiri sudah pernah menghasilkan sarjana yang buta, pincang, dan bahkan buntung dengan prestasi bagus. "Mereka cukup terpandang dan disegani sebagai guru," kata Karna. Demikian pula menurut Rektor IKIP Surabaya Soerono Martorahardjo, tidak ada alasan menolak mahasiswa yang cacat. Soerono terus terang mengakui pernah IKIP Surabaya meluluskan mahasiswa yang cebol. Sesuai dengan kesepakatan lulusan itu kemudian menjadi guru di sekolah khusus bagi cacat netra. Logikanya, siswa buta tidak melihat gurunya itu cebol atau tidak. Jadi tak diolok-olok. "Tugas kami adalah menyelamatkan mereka. Mereka perlu dikasihani," kata Soerono. "Meskipun cacat, mereka tetap layak mengajar dan jadi guru." Lalu masalahnya menjadi makin jelas, tergantung kebutuhan dan melihat sikon. Seperti yang dikatakan Menteri P dan K Fuad Hassan kepada TEMPO pekan lalu, jenis cacat yang bagaimana, sih, yang seharusnya tidak boleh menjadi guru. "Sarjana IKIP yang tunanetra 'kan bisa 'ngajar di sekolah luar biasa," katanya. Selama tidak mengganggu pekerjaannya, seperti Bu Guru Suryanti, "Itu 'kan tidak ada masalah." Agus asri dan biro-biro

2 komentar:

  1. Salah satu jari saya bengkok dan tidak bisa lurus tetapi itu tidak menghambat aktivitas saya sedikit pun apakah saya berhak menjadi guru?

    BalasHapus
  2. jari tangan saya cacat 1 ruas apakah bisa menghambat saya untuk menjadi seorang guru?

    BalasHapus